Thursday, December 3, 2009

'Cerpen : Batas Akhirku'

Dalam kesunyian kamarku aku bingung harus berbuat apa? Sebab aku sudah tak mampu lagi untuk bergerak. Aku terbaring lemah tanpa kekuatan. Aku mulai bosan dengan keadaan yang seperti ini, sebab sudah tiga minggu ini aku tak melihat keadaan diluar. Jam mulai berdentang dua kali tepat menunjukkan jam dua malam. Dan untung saja aku mulai bisa memejamkan mataku ini.

Esok paginya aku terbangun oleh sinar mentari yang silau tepat mengenai wajahku. “Selamat pagi, Non” sapa Bibi. Dengan malas aku menjawab “Pagi Bi, jam berapa sekarang?” “Jam delapan Non” jawabnya. Setelah itu Bibi langsung pergi meninggalkanku sendirian dikamar. Aku mulai bertanya dalam hati “Mengapa semua orang ninggalin aku? Apa mereka udah enggak sayang lagi ama aku?” Banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Tak seperti biasanya, Dokter yang selalu mengontrol keadaanku terlambat datang. “Dina, maaf saya terlambat” sapanya. Aku hanya tersenyum manis menatapnya, lalu ia langsung memeriksa keadaanku seperti yang ia lakukan pada hari-hari sebelumnya. Kata dokter itu, tidak lama lagi aku akan sembuh. Saat itu aku sangat bahagia sekali mendengar kabar bagus itu. Itu berarti sebentar lagi penderitaanku di kamar ini akan segera berakhir.

1 Hari Menjelang Kepulihanku

Aku tahu semua takkan berakhir tanpa penderitaan. Penyakitku takkan bisa sembuh walau dioperasi sekalipun. Semua sudah terlambat, tapi diakhir-akhir hidupku ini setidaknya aku sempat merasakan perhatian dari orang-orang yang ada disekitarku. Biarpun aku sudah pulih aku tetap tak bisa seperti dulu. Bermain basket sesukaku, lari-lari di koridor kelas, membolos saat pelajaran sejarah, dan masih bayak lagi. Pengetahuanku boleh dibilang pas-pasan. Aku biasa-biasa saja disekolah, seperti murid yang lainnya. Tapi dalam pelajaran olahraga aku selalu unggul dari siapapun, termasuk Denis saingan terberatku. Tapi sekarang tidak, sejak aku divonis menderita leukimia sama yang pernah diderita oleh almarhum Bundaku. Mungkin ini penyakit turunan kali ya? Aku juga tak tahu berapa lama lagi aku ada di dunia ini. Sudah akhir-akhir ini aku merasa keadaanku mulai sedikit membaik. Aku mulai bisa menghirup udara segar lagi dipekarangan belakang rumahku. Dan besok adalah hari yang ku tunggu-tunggu. Mulai besok aku dapat sekolah kembali seperti biasa lagi. Aku senang sekali.

Keesokan paginya aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah menyelesaikan kebiasaan pagiku aku berangkat ke sekolah dengan ditemani oleh mobil jazz pink kesayanganku. Mobil itu kuperoleh saat aku duduk dikelas 1 SMA tahun lalu, saat itu bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 15. Aku heran saat pagi-pagi sekali ayah sudah berada dikamarku dan membangunkan aku. Betapa senangnya saat ayah bilang mobil ini yang akan menemaniku saat ayah tak berada di Indonesia. Sejak saat itu dia tak pernah pulang untuk sekedar melihat keadaanku. Aku tak tahu tepat ayah sekarang berada dimana, tapi dia sering meneleponku untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaanku. Aku bisa mengerti dengan pekerjaan yang memaksanya untuk jauh dariku.

Setelah menyetir kurang lebih 15 menit akhirnya aku sampai juga di sekolahanku. Aku berjalan keruang kelasku dan meletakkan tasku diatas tempat biasa aku duduk. Tapi di kelas itu tak ada orang satupun karena masih terlalu pagi. Seperti biasa aku berjalan menuju gudang olahraga yang terletak dipojok koridor. Kubuka gagang pintu gudang itu lalu ku ambil bola basket yang berada di lemari yang ada di ruang itu. Aku berjalan menuju lapangan basket. Ditemani Mang Udin, tukang kebun sekolah yang sedang membersihkan halaman sekolah aku bermain basket. Ini sudah menjadi pemandangan yang tak asing baginya. Dulu hampir setiap hari aku sering bermain basket sambil menunggu murid-murid yang lain datang. “Kemana aja neng kok udah lama enggak pernah kelihatan?” tanya Mang Udin. “Saya sakit Mang” jawabku. “Neng bisa sakit juga ya!” timpalnya dengan tersenyum kecil. “Semua orang bisa sakit kok Mang, tapi ada saatnya” kataku sambil memberi penjelasan kepada Mang Udin. Tak terasa keringatku sudah banyak yang menetes ke tanah, tapi aku tak memperdulikannya dan tetap saja bermain. Karena selama sakit, aku tak pernah bermain basket jadi rasanya aku enggak ingin berhenti. Akhirnya setelah merasa cukup lelah aku pun berhenti mengingat aku baru sembuh.

Jam pelajaran pertama dimulai. Satu orang pun tak ada yang menanyakan keadaanku. Aku tak dianggap ada disana, kecuali Bu Sigit yang sedang mengejar pada jam pelajaran itu. Akhirnya aku ijin keluar kelas dan menuju ke tempat penyimpanan air yang berada di belakang gudang kerena aku bosan dengan suasana kelas. Tak satu orang pun tahu tempat persembunyianku ini. Di sini tempat aku meluapkan semua rasa yang kualami saat berada disekolah. Tiba-tiba saja ada seseorang yang berbicara padaku. “Sejak lo nggak masuk sekolah ini nggak ada lagi yang bisa mngalahin gue! Eh, sekarang lo malah balik lagi!” ternyata saingan beratku, Denis. “Darimana lo tau gue disini?” Tanyaku. “Tadi gue lihat lo, gue penasaran terus gue ikutin aja” jawabnya dengan santai. Aku turun dari tempat itu. Aku langsung balik ke kelas dan tak menghiraukan Denis.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi aku tak langsung pulang. Aku jalan-jalan keliling kota Yogyakarta. Aku ingin jauh dari kebisingan orang-orang yang seolah-olah tak memperdulikanku.

Tak tahu sejak kapan aku mulai bisa menerima seseorang hadir dalam hidupku. Denis, ia mulai mengusik kehidupanku. Aku heran mengapa ia mau mengenalku lebih dekat. Memang Denis orangnya baik, perhatian, dan saat jayusnya kumat ia bisa mengeluarkan jurus apa saja yang bisa membuat orang tertawa mendengar ocehannya. Setelah sampai dirumah aku mengengarkan lagu yang melantunkan irama...

Waktuku tinggal sebentar

Semuanya aku pergi

Dan teman-temanku jangan tangisi aku..

Aku tak pernah menyesal

Jadi jangan kau menyesal

Dan taman-temanku jangan tangisi aku..

Aku berfikir seandainya Denis tahu waktuku tak lama lagi. Tapi aku enggak akan memberitahunya sampai tiba saatnya. Aku tak tahu mengapa aku bisa dekat dengannya. Sejak kejadian dibelakang gudang itu aku semakin tahu tentang dia. Pulang, main basket, ngerjain tugas, gila-gilaan berdua. Sampai suatu saat ada seseorang yang mengisi hidup Denis. Orang itu adalah Nadia, cewek yang hampir mendekati perfect di kelas XII IPA 1 yang memiliki segalanya, kepintaran, keluarga yang utuh, teman-teman yang baik, tubuh tinggi semampai. Tapi aku enggak boleh iri dengannya, aku harus kuat untuk bangun dari masalah yang menghadangku. Toh, belum tentu Denis suka padaku. Dan aku sadar waktuku tak lama lagi, penyakit yang selama ini menggerogoti tubuhku semakin tak bisa diajak kompromi. Dan aku pun tak terlalu ikut campur dengan masalah Denis dan Nadia.

Seperti biasa aku sedang berada di tempat persembunyianku, melihat pemandangan belakang sekolah membuatku tenang. Aku ingin menghilangkan kepenatanku di kelas. Tiba-tiba Denis datang “ternyata lo disini” tegurnya mengagetkanku. Aku kaget dengan spontan menoleh kearahnya. “Gue dari jam ke dua kok disini!, Ada apa nyariin gue?” jawabko polos. “Nggak, nggak ada apa-apa kok!” timpalnya. Aku mulai terlibat perbincangan yang seru dengannya. “Emangnya lo nggak takut ketinggalan pelajaran?” tanya Denis sambil mengerutkan keningnya. “Nggak, toh nggak ada yang peduli ama gue!” kataku dengan memberi penekanan pada kata peduli. “Emangnya ortu lo kemana sih?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Akhirnya aku ceritakan semua keadaanku padanya tapi tidak dengan penyakitku ini. “Em.. lo gimana ama Nadia?” tanyaku menyelesaikan ceritaku tadi. “Nggak gimana-gimana kok, biasa aja?” jawabnya sambil menahan senyumnya. Siapa yang nggak tahu kalo dia udah resmi jadian ama Nadia. Satu sekolah aja udah tahu semuanya. Itu bukan rahasia besar lagi dan aku pun tahu dari salah satu penggemarnya Denis. Emang sih tampang Denis nggak bisa dibilang jelek karna dia termasuk THE DREAM bagi cewek-cewek satu sekolahan. Sejenak aku terdiam. “Eh, sabtu besok mau nemenin gue nonton konser nggak?” ajak Denis dengan penuh keyakinan. Aku berfikir sejenak “Oke, deh dari pada gue jalan-jalan nggak tau ujungnya!” balasku. “Sip, besok lo gue jemput sekitar jam setengah delapanan ya!” kata Denis dengan nada meyakinkan. “Gue tunggu, jangan sampe letat ya! Gue paling benci nunggu!” jawabku sambil melenggang pergi meninggalkan Denis.

Di Konser

Malam minggu itu ternyata Denis menjemputku tak sesuai dengan dugaanku, setengah jam lebih cepat. Aku masuk mobil jazznya dan langsung duduk disebelahnya. Tanpa bertanya dia langsung menyalakan mobilnya dan melaju diantara pepohonan halaman rumahku ke tempat konser itu. ”Lo tinggal ama siapa di rumah segede itu?” kata Denis menbuka perbincangan. “Berdua bareng ma Bibi, emangnya kenapa? Rumah gue nyeremin ya?” tanyaku balik. “Ng.. nggak, nggak kenapa-kenapa kok! Cuma aneh aja rumah segede itu Cuma ada lo ama pembokat lo” kata Denis sambil melanjutkan menyetir mobilnya.

Setelah kurang lebih 20 menit perjalanan dari rumahku akhirnya nyampe juga. “Rame banget, Nis?” tanyaku heran. “Ya, iyalah namanya juga konser beda ama kuburan! Lo nggak pernah ke tempat rame kayak gini ya?” tanya Denis agak heran. “Jarang sih, biasanya gue lebih milih tempat yang sepi kayak gedung-gedung tinggi yang udah nggak kepake” jawabku. “Ayo pasti lo nggak bakal nyesel deh ikut gue” ucap Denis kepadaku. Sebenernya aku masih bingung, ini konser band apa sih? Soalnya Denis nggak ngasih tahu kita mau nonton konser band apa. Tiba-tiba Denis memegang tanganku dan menarikku menuju deretan paling depan. Aku tiba-tiba terkejut setelah melihat band apa yang akan konser malam itu. Ternyata salah satu band kesukaanku, aku seneng banget malam itu. “Lo tahu dari mana kalo gue suka ama band ini?” tanyaku dengan penuh selidik. “Ada deh, lo nggak perlu tahu dari siapa. Pokoknya lo have fun aja malem ini. Jarang-jarang kan ada yang ngajak lo keluar gini” jawab Denis sambil mengumbar senyumnya. Aku hanya ternyum manis membalasnya tanda terima kasih padanya. Aku ikut loncat-loncat saat lagunya mulai melantunkan irama yang membuat semua orang semangat. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa berat dan semuanya menjadi gelap.

Paginya, saat aku bangun aku sudah berada dikamarku. Aku mulai mengingat kenapa aku bisa berada disini, padahal semalam aku bersama dengan Denis. Tapi aku hanya ingat sampai semuanya menjadi gelap. Aku sadar disampingku ada Denis yang sedang mengamatiku. “Udah bangun?” tanya Denis. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya dia udah nyerocos ama pertanyaannya yang lain.

No comments:

Post a Comment